Laman

Thursday, March 6, 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA




MAKALAH
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah
SEJARAH PERADABAN ISLAM

Dosen Pengampu :
NUR MUKHLIS ZAKARIA, M.Ag








Disusun Oleh :
1.       HUDA YUSUF
2.       SYAFAAT        
3.       MIFTAHUR R 
4.       SRI UTAMI      



SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL - MUSLIHUUN
TLOGO - KANIGORO - BLITAR
TAHUN AKADEMIK 2012-2013


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

PENDAHULUAN

Penyebaran agama Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian mengantunya. Kedua, orang-orang Asing Asia, seperti Arab, India, dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal secara permanen di satu wilayah Indonesia, melakukan perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal. Kedua proses ini mungkin sering terjadi secara bersamaan.[1]
Mengenai proses masuk dan berkembangnya agama Islam ke indonesia, para sarjana dan peneliti sepakat bahwa islamisasi itu berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa muslim Indonesia untuk mengislamkan rakyat atau masyarakatnya. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktek keagamaan yang lama. Hal ini yang sering dilakukan oleh juru dakwah di Jawa yang terkenal adalah Walisanga. Mereka mengajarkan Islam dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan-kepercayaan setempat. Di samping itu, mereka juga menggunakan jimat, pesona ilmu kesaktian, dan keahlian supernatural lainnya untuk mengajak mereka memeluk agama  Islam.[2]

A.      TEORI MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Mengenai asal, tokoh pembawa, waktu dan tempat islamisasi pertama kali di Indonesia masih merupakan masalah yang kontroversia. Hal ini disebabkan kurangnya data yang dapat digunakan untuk merekontruksi sejarah yang valid, juga adanya perbedaan-perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan Islam. Sebagian sarjana dan peneliti memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat sederhana seperti pengucapan kalimat syahadat atau pemakaian nama Islam. Sebagian yang lain mendefinisikan Islam secara sosiologis, yakni masyarakat itu di katakan telah Islam, jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara aktual dalam lembaga sosial, budaya, dan politik. Jadi mereka menganggap bacaan kalimat syahadat tidak dapat dijadikan bukti adanya penetrasi Islam dalam suatu masyarakat.[3] Setidak-tidaknya ada empat teori tentang islamisasi awal di indonesia.
1.         Teori India
Teori ini antara lain dikemukakan oleh Pijnappel, Snouck Hurgronje, Moquette, dan Fatimi. Dalam teori ini dijelaskan bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia berasal dari Anak Benua India sekitar abad ke-13.
Pijnappel mengajukan bukti adanya persamaan mazhab syafi'i antara di Anak Benua India dengan di Indonesia. Orang-orang Arab yang bermazhab syafi'i bermigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar kemudian membawa Islam ke Nusantara.[4] Jadi ia berpendapat bahwa islamisasi di Nusantara dilakukan oleh orang Arab, tetapi bukan datang langsung dari Arab, melainkan dari India, terutama dari Gujarat dan Malabar.
Snouck Hurgronje berpendapat bahwa saat Islam mempunyai pengaruh yang kuat di kota-kota India selatan, banyak muslim Dhaka yang di sana. Mereka inilah yang pertama menyebarkan agama Islam ke pulau Melayu, kemudian diikuti oleh orang-orang Arab.[5] Snouck Hurgronje menyatakan bahwa Islam Nusantara bukan berasal dari Arab, karena sedikitnya fakta yang menyebutkan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Ia berpendapat bahwa Islam Nusantara berasal dari India, karena sudah lama terjalin hubungan perdagangan antara Indonesia dengan India dan adanya inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra mengindikasikan adanya hubungan antara Samudra dengan Gujarat.[6]
Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa Sumatra Utara, yaitu mengenai Pasai dijumpai dalam kisah perjalanan Ibn Battuta, musafir Maroko yang singgah di daerah itu pada tahun 1345 M dalam perjalanannya dari Benggala ke Tiongkok, merupakan tempat yang penting bagi rekontruksi perkembangan Islam di kepulauan itu. Sebagaimana dalam catatan Ibn Battuta, Snouck Hurgronje menyebutkan adanya tiga batu nisan muslim dari paruh pertama abad ke-15 M yang ditemukan di distrik Pasai. Di antara batu nisan-batu nisan itu ada tulisan tentang kematian seseorang pangeran Abbasiyah. Pangeran itu mendapatkan tempat yang mulia yang terakhir di Sumatra Utara pada tahun 14 07 M. Ia terdampar di Delhi dan atas tanggungan maharaja Hindustan ayahnya telah menetap di sana dalam waktu yang lama. Snouck Hurgronje juga menyebutkan bahwa ketiga batu nisan itu mempunyai persamaan dengan batu nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang meninggal pada tahun 1419 M.[7]
Moquette berpendapat ada persamaan antara gaya batu nisan yang ada di Pasai, Sumatra Utara, khususnya yang bertanggal 17 Dzulhijjah 83.1 H/27 September 1428 M dan di Gresik, yakni makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419) dengan batu nisan yang di Cambay, Gujarat. Batu nisan-batu nisan itu semuanya berasal dari abad ke-15 dan sesudahnya. Jadi ada hubungan antara Indonesia dengan Gujarat pada periode tertentu. Mengenai batu nisan-batu nisan yang ditemukan di distrik Pasai sebelum abad ke-15 M, seperti batu nisan Malik al-Shalih (1297 M) dipandang oleh Moquette bentuknya berbeda dengan yang berasal dari Cambay, meskipun batu nisan itu dari India dan diletakkan di makam itu beberapa waktu setelah meninggalnya raja itu.[8]
Pendapat Moquette dibantah oleh Fatimi dengan mengajukan argumentasi bahwa batu nisan yang ada di makam Malik al-Shalih di Samudra Pasai ada persamaannya dengan yang ada di Bangladesh, sedangkan batu nisan Malik al-Shalih coraknya sangat berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat dan prototipe Indonesianya.[9] Fatimi mengatakan bahwa sebagian besar orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunannya. Islam pertama kali muncul di Semenanjung Malaya dari arah pantai timur, bukan dari arah barat (Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia berpendapat bahwa Islam yang ada di Semenanjung lebih mirip dengan Islam di Phanrang dan elemen-elemen prasasti Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran.[10] Meskipun demikian pendapat Moquette banyak didukung oleh peneliti-peneliti lain, seperti: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall.[11]
Menanggapi tentang asal-usul Islam dari Gujarat, Marrison berpendapat meskipun beberapa batu nisan di bagian tertentu Nusantara mungkin berasal dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Marrison menyatakan bahwa selama masa islamisasi Samudra Pasai, Malik al-Shalih yang merupakan penguasa Muslim pertama meninggal tahun 698 H/1297 M, saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu dan wilayah Cambay dikuasai muslim pada tahun 699 H/1298 M. Dengan demikian kalau Gujarat merupakan tempat asal islamisasi Nusantara, maka seharusnya Islam di Gujarat telah mapan jauh menambahkan bahwa meskipun orang-orang muslim telah berkali-kali berusaha untuk menaklukkan Gujarat, yakni tahun 415 H/1204 M, 574 H/1178 M, dan 694 H/1197 M, mereka tidak berhasil. Baru pada tahun 698 H/1297 M Gujarat dapat ditaklukannya. Marrison sendiri berpendapat bahwa para juru dakwah dari Coromandellah yang membawa Islam ke Nusantara pada akhir abad ke-13 M.[12]
2.         Teori Arab
Teori ini antara lain dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold, Crawfurd, Niemann, dan de Hollander. Arnold berpendapat bahwa selain dari Coromandel dan Malabar Islam Nusantara juga berasal dari Arab. Bukti yang ia ajukan ialah adanya kesamaan mazhab antara di Coromandel dan Malabar dengan mazhab mayoritas umat Islam di Nusantara, yaitu mazhab Syafi'i. Mazhab ini dibawa oleh para pedagang Coromandel dan Malabar ke Nusantara. Mereka mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Di samping melakukan kegiatan perdagangan, mereka juga menyebarkan agama Islam.[13]
Mengenai pendapatnya tentang asal Islam Nusantara dari Arab, Arnold berpendapat bahwa para pedagang Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke-7 M dan ke-8 M. Dapat diduga bahwa mereka juga menyebarkan agama Islam ke Nusantara. Arnold juga mengatakan bahwa sebuah sumber Cina menyebutkan bahwa menjelan perempat ketiga abad ke-7 M ada seorang Arab yang menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatra. Mereka ini juga melakukan kawin campur dengan penduduk setempat, sehingga muncullah komunitas muslim.[14]
Crawfurd mengatakan bahwa Islam dikenalkan langsung dari Arab, meskipun demikian dia juga menegaskan bahwa hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan kaum muslimin dari pesisir Timur India juga merupakan faktor penting. Niemann tidak menyebut tentang waktu masuknya Islam ke Nusantara, sedangkan de Hollander mengatakan kemungkinan pada abad ke-13 M sudah ada orang-orang Arab di Jawa. Niemann dan de Hollander mengatakan bahwa Islam datang dari Hadramaut, karena adanya persamaan antara mazhab yang dianut oleh muslim Hadramaut dengan muslim Nusantara, yaitu mazhab Syafi'i. [15]
Sejumlah ahli Indonesia sepakat dengan teori ini. Mereka memberi alasan bahwa mazhab Syafi'i di mekah mendapat pengaruh yang luas di Indonesia. Mereka juga berpendapat bahwa pada tahun 674 M telah terdapat perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatra dan telah terjadi hubungan Indonesia-Arab jauh sebelum abad ke-13 M. Pembawa agama Islam itu adalah para saudagar Arab. Mereka mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-17 M langsung dari Arab.[16]
Hamka yang setuju dengan teori ini memberikan beberapa alasan, di samping alasan di atas, yaitu gelap raja-raja Pasai adalah Malik, bukan Shah atau Khan seperti yang terjadi di Persia dan India. Gelar al-Malik kemungkinan besar mendapat pengaruh dari Mesir. Karena raja-raja Mamluk setelah keturunan Salahudin semuanya menggunakan gelar al-Malik.[17] Hamka juga mengatakan bahwa pada abad ke-13 M sezaman dengan Ibn Battuta ada ulama-ulama Djawi yang mengajarkan tasawuf di Mekah. Dalam buku Djami' Kiramat al-Aulia karya Syaikh Yusuf bin Ismail en Nabhani dijelaskan bahwa guru tasawuf Syaikh Abdullah al-Jafi'i adalah murid Syaikh Abdullah Mas'ud bin Abdullah al-Djawi.[18]
Mengenai  teori Arab ini sejalan dengan apa yang tercantum dalam historigrafi tradisional. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan bahwa Syaikh Ismail datang dari makah melalui Malabar menuju Pasai. Dia mengislamkan Raja Pasai, Merah Silu, yang kemudian bergelar Malik al-Shalih (meninggal 698 H/1297 M). kemudian menurut sejarah melayu kira-kira tahun 817 H/1414 M, Parameswara, penguasa Malaka, diislamkan oleh Sayyid Abd al-Aziz, seorang Arab yang berasal dari Jeddah. Setelah menganut Islam, Parameswara bergelar Sultan Muhammad Syah.
Menurut Azyumardi Azra ada empat hal yang disampaikan oleh historigrafi tradisional berkaitan dengan islamisasi Nusantara. Pertama, Islam Nusantara berasal dari Arab. Kedua, Islam dibawa oleh juru dakwah yang professional. Ketiga, yang pertama kali masuk Islam adalah berasal dari kalangan penguasa. Keempat, sebagian besar juru dakwah itu datang ke Nusantara pada abad ke-12 M dank ke-13 M. memang sejak abad pertama Hijriah sudah ada orang Islam di Nusantara, tetapi baru abad ke-12 M sampai abad ke-16 M pengaruh Islam di Nusantara tampak lebih jelas dan kuat.[19]
3.         Teori Persia
Teori ini dikemukakan oleh P.A. Husain. Djajadiningrat dalam teori ini dinyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M di Sumatra, yang berpusat di Samudra Pasai. Dia mendasarkan argumennya pasa persamaan budaya yang berkembang di kalangan masyarakai Islam Indonesia dengan budaya yang ada di persia.[20]
Bukti-bukti adanya persamaan budaya itu antara lain:
  1. Adanya peringatan 10 Muharram atau Asyura yang merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat Syiah untuk memperingati hari kematian Husain di karbala. Tradisi ini diperingati dengan membuat bubur Asyura. Bulan Muharram di Minangkabau disebut dengan bukan Hasan-Husain, di Sumatra Tengah bagian Barat disebut dengan bulan Tabut.
  2. Adanya persamaan antara ajaran al-Hallaj dengan ajaran Syaikh Siti Jenar.
  3. Persamaan dalam sistem mengeja huruf Arab bagi pengajian al-Quran tingkat awal.
  4. Adanya persamaan batu nisan yang ada di makam  Malik al-Shalih di Pasai dengan makam Malik Ibrahim di Gresik yang di pesan dari Gujarat. Dalam hal ini Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Gujarat merupakan daerah yang mendapat pengaruh dari Persia yang menganut faham Syiah dan dari sinilah Syiah dibawa ke Indonesia.

Meskipun demikian teori Persia ini juga memandang adanya pengaruh mazhab Syafi'i di Indonesia berasal dari Malabar, yang merupakan Mazhab paling utama di daerah itu. Teori ini juga sesuai dengan pendapat Mueas. Dia berpendapat bahwa Gujarat pada abad ke-15 M, pada masa Raja-raja Sasanid, banyak orang-orang Persia  yang berada di Aceh. Dia juga mengatkan bahwa sebenarnya kata “Pasai” itu berasal dari kata “Persia”. Muens juga mengemukakan alasannya bahwa ketika Ibn Batutah dating ke aceh, terdapat dua ulamayang berasal dari Persia, yaitu Tajduddin al-Syirazi dan Sayyid al- Ashbahani.[21]
Pijnapel juga berpendapat bahwa Islam di Nusantara juga mendapat pengaruh dari Persia di samping dari Arab. Dia menunjukkan bukti adanya jujur perdagangan dari teluk Persia ke pantai barat India, Broach, Surat, dan Quilon (Kulam) merupakan pusat-pusat perdagangan yang penting. Adanya pengaruh dari Persia disebabkan karena kontak dengan pantai barat India.[22]
4.         Teori Cina
Teori ini menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara bukan dari Timur Tengah/Arab maupun Gujarat/India, tetapi dari Cina. Pada abad ke-9 M banyak orang muslim Cina di kanton dan wilayah Cina selatan lain yang mengungsi ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatra. Hal ini terjadi karena pada masa Huan Chou terjadi penumpasan terhadap penduduk Kanton dan wilayah Cina selatan lainnya yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka berusaha mengadakan revolusi politik terhadap keraton Cina pada abad ke-9 M.[23] Pada abad-abad berikutnya peranan orang Cina semakin tampak dengan adanya bukti-bukti artefak, yakni adanya unsure-unsur Cina dalam arsitektur masjid-masjid Jawa Kuno, seperti tampak pada atap masjid banten, mustaka, dan lain-lain.[24]
Disamping adanya pengungsi Cina ke Jawa pada abad ke-9 M, pada abad ke-8-11 M sudah ada pemukiman Arab muslim di Cina dan di Campa. Memang sudah terjadi hubungan perdagangan yang cukup lama antara orang-orang Cina dengan orang-orang Jawa.[25] Suatu hal yang wajar jika pada abad ke-11 M telah terdapat komunitas muslim di Jawa, seperti adanya makam Islam dan keramik Cina di situs Leran. Temuan tersebut dapat dijadikan bukti bahwa sejak abad ke-11 M daerah Leran dan sekitarnya merupakan pusat perdagangan penting di Jawa Timur.[26]
Cina mempunyai peranan yang besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Di samping bukti-bukti di atas, arsitektur masjid Demak dan juga berdasarkan beberapa catatan sejarah beberapa sultan dan sunan yang berperan dalam penyiaran agama Islam di Indonesia adalah keturunan Cina, misalnya Raden Patah yang  mempunyai nama Cina Jin Bun, Sunan Ampel dan lain-lain.[27]
Meskipun demikian, ada masalah dalam teori ini berkaitan dengan mazhab yang dianut oleh kaum muslim Nusantara. Secara mayoritas mereka menganut mazhab Sunni Syafi’I, sedangkan muslim Anak Benua bermazhab Sunni Hanafi. Dalam hal ini memungkinkan munculnya pendapat bahwa Islam datang ke Nusantara langsung dari Arabia selatan, khususnya Yaman dan Hadramaut, karena di kawasan itu kaum muslim menganut faham Sunni Syafi’i. dengan memahami kenyataan di atas teori Cina tampaknya ada kecocokan berkaitan dengan masalah mazhab dan bahasa. Muslim Cina bermazhab Sunni Syafi’I, yakni mazhab yang dianut oleh bangsa-bangsa muslim sepanjang jalur sutra dan dari segi kabahasaan, bangsa-bangsa muslim di Asia Tengah dan Cina berada dalam kawasan pengruh budaya muslim Persi.[28]
Setidak-tidaknya teori islamisasi di Nusantara berasal dari Cina  pada masa-masa tertentu patut diperhatikan, karena sekitar abad ke-15 M dan abad ke-16 M telah terjadi hubungan yang sangat baik antara Cina dan Jawa.[29]

B.       PROSES ISLAMISASI DI NUSANTARA
Menurut Hasan Muarif Ambary ada tiga tahap proses islamisasi di Nusantara. Pertama, fase kehadiran para pedagang muslim (abad ke-1 sampai ke-4 H) sejak permulaan abad Masehi kapal-kapal dagang Arab sudah mjulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Pada abad ke-1-4 H/7-10 M jawa tidak disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang. Mengenai adanya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dengan angka 475 H/1082 M bentuk maesan dan jiratnya menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M. Fatimi berpendapat bahwa nisan itu ditulis oleh orang syiah dan ia bukan seorang muslim Jawa, tetapi seorang pendatang yang sebelumnya bermukim di timur jauh.
Kedua, fase terbentuknya kerajaan Islam (13-16 M). pada fase ini ditandai dengan munculnya pusat-pusat kerajaan Islam. Ditemukan makam Malik al-Shalih yang terletak di kecamatan Samudra di Aceh utara dengan angka tahun 696 H/1297 M merupakan bukti yang jelas adanya kerajaan Islam di Pasai. Di Jawa sudah ada bukti yang kuat tentang keberadaan masyarakat muslim, terutama di pesisir pantai utara. Adanya batu nisan-batu nisan bekas pemakaman orang-orang Islam di Trowulan dan Troloyo, dekat Mojokerto, yang diduga sebagai pusat pemerintahan kerajaan Majapahit memberikan suatu gambaran bahwa makam-makam itu merupakan makam-makam orang muslim Jawa dan bukan kuburan orang muslim Asing. Hal ini dapat diketahui dari angka tahun-angka tahun pada nisan itu yang menggunakan angka tahun Saka dan Jawa Kuno, jarang menggunakan tahun Hijriyah.
Ketiga, fase pelembagaan Islam. Agama Islam yang berpusat di Pasai tersebar luas ke Aceh di pesisir Sumatra, Semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin dan Lombok. Bukti persebarannya ditemukan cukup banyak. Di Semenanjung  Melayu ditemukan bentuk-bentuk nisan yang menyerupai bentuk-bentuk batu nian Aceh. Di Kuwin Banjarmasin tepatnya di komplek pemakaman Sultan Suriansyah (Raden Samudra) terdapat batu nisan yang mempunyai kesamaan batu nisan yang ada di Demak dan Gresik. Di pemakaman Seloparang terdapat sebuah batu nisan yang memiliki gaya Jawa Timur.[30]
Kedatangan islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat umumnya, dilakukan secra damai. Apabila situasi politik suatu kerajaan kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana, maka islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak yang dikehendaki kekuasantersebut. Apabila kerajaan islam sudah berdiri,hal ini bukanlah karena persoalan agama tetapi karena dorongan politisi untuk menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya.[31]
Proses kedatangan Islam dan penyebarannya di Kepuluan Indonesia adalah dengan cara damai melalui beberapa cara. Menurut Uka Tjandrasasmita ada enam cara[32], yaitu :
1.      Melalui Jalur Perdagangan
Pada taraf permulaan,saluran Islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu luntas perdagangan peda abad ke-7 hingga ke-16 M membuat para pedagang muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil bagia dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara, dan timur benua Asia.
2.      Melalui Jalur Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki setatus social yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untk menjadi istri para saudagar itu. Sebelum menikah mereka di Islamkan terlebih dahulu. Setelah merek memiliki keturunan, lingkungan mereka akan semakin luas. Akhirnya timbul kampong, daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim.
3.      Melalui Jalur Tasawuf
Para penyebar Islam juga dikenal sebagai pengajar- pengajar  tasawuf. Mereka mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dengan tasawuf, bentuk Islam yang  diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu,  sehingga agama baru itu dapat dengan mudah dimengerti dan diterima.
4.      Melalui Jalur Pendidikan
Dalam Islamisasi di Indonesia ini, juga dilakukan melalui jalur pendidikan seperti pesantren, surau, masjid, dan lain-lain yang dilakukan oleh guru agama, kiyai dan ulama. Jalur pendidikan digunakan oleh para wali khususnya di Jawa dengan membuka lembaga pendidikan pesantren sebagai tempat kaderisasi mubaligh-mubaligh  Islam di kemudian hari.
5.      Melalui Jalur Kesenian
Para penyebar Islam juga menggunakan  kesenian dalam rangka penyebaran Islam,antara lain dengan wayang,,sastra,dan berbagai kesenian lain. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh penyebar agama Islam seperti walisongo untuk menarik perhatian di kalangan merekasehingga dengan tanpa terasa mereka elah tertarik kepada ajaran-ajaran Islam sekalipun pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu.
6.      Melalui Jalur Politik
Sebagaimana diketahui, melalui jalur politik para walisongo melakukan strategi dakwah mereka di kalangan para pemesar kerajaan seperti Majapahit, Pajajaran, bahkan para walisongo juga mendirikan kerajaan Cirebon dan kerajaan Banten. Kesemuanya dilakukan untuk melakukan pendekatan dalam rangka penyebaran islam.

C.      PERTUMBUHAN LEMBAGA SOSIAL DAN POLITIK
  1. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan islam pertama di indonesia adalah kerajaan samudra pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7 M, ke-8 M dan seterusnya.[33] Bukti berdirinya kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M itu didukung oleh adanya nisan kubur yang berasal dari Samudra Pasai. Dari nisan itu, dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.
Malik Al-Saleh, raja pertama itu, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya para sarjana Belanda, sepserti snouck Hurgronye, J.P.Molquette, J.L.Moens, J.Hushoff poll, G.P.Rouffaer, H.K.J.Cowan, dll.[34] Dari segi peta politik, munculya kerajaan Samudra Pasai abad ke 13 M itu sejalan denagan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan sumatra dan sekelilingnya.[35]
            Pendapat bahwa islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita Cina dan pendapat ibnu batutah, seorang pengembara terkenal asal marokko, yang pada pertengahan abad ke-14 M (tahun 746 H/1345 M) mengunjungi Samudra Pasai dalam perjalanannya dari delhi ke Cina. Ketika itu Samudra Pasai diperintah oleh Sultan Malik Al Zahir, putra Sultan Malik Al Shalih,  Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil sa-mu-ta-la (Samudra) mengirim kepada raja cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim yakni Husain dan Sulaiman.[36] Ibnu batutah menyatakan bahwa islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan di sana. Berdasarkan beritanya pula, kerajaan samudra pasai ketika itu merupakan pusat studi agama islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri untuk berdiskusi brbagai permasalahan keagamaan dan keduniaan.
            Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini, tidak mempunyai basis agrasis. Basis perekomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Samudra Pasai waktu itu ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonomi, memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab. Ia merupakan pusat perdagangan yang sangat penitng. Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat ini meripakan kerajaan yang makmur.
            Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumtra. Dari  Aceh, tanah Gayo dan minang kabau. Hanya orang kafir batak yang berusaha menangkis kekuatan islam yang datang. Bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan ke portugis. Akan tetapi sultan tidak  terlalu bergantung pada Turki Umani, selain jaraknya yang jauh. Untuk mengalahkan portugis, sultan kemudian bekerja sama dengan musuh portugis, yaitu Belanda dan Inggris. Tidak seperti iskandar Muda yang memerintahkan dengan tangan besi, penggantinya, Iska ndar Tsani, bersikap lebih liberal, lembut  dan adil. Pada masanya, Aceh terus berkembang dan juga pengetahuan agama maju dengan pesat. Akan tetapi kematiannya diikuti masa-masa bencana. Tatkala beberapa sultan perempuan menduduki singgasana beberapa wilayah taklukannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Setelah itu, pemulihan kesultanan tidak banyak bermanfaat, sehingga menjelang abad ke18 M kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam dirinya, tanap kepemimpinan dan kacau balau.[37]
2.      Kerajaan Demak
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, perkembangan islam di jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi raja majapahit. Hal ini memberi peluang kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Dibawah kepemimpinan Sunan Ampel Denta, wali songo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan islam pertama dijawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngbdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama[38]. Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh para ulama. Wali Songo. Sebelumnya, Demak yang masih bintaro merupakan daerah asal majapahit yang diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini lambat laun menjadi  pussat perkembangan agama islam yang diselenggarakan oleh para wali.
Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira diakhir abad ke-15 hingga abad ke-16. Dikatakan, ia adalah seorang anak raja Majapahit dari seorang ibu Muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya, Sabrang lor, dikenal juga dengan nama pati unus. Menurut Tome Pires. Pati unus baru berumur 17  tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Tidak lama setelah naik tahta, ia merencanakan suatu serangan terhadap malaka.  Semangat perangnya semakin memuncak ketika  Malaka ditaklukkan Portugispada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar tahun 1512-1513 tentaranya mengalami kekelahan besar.[39]
Kemudian, pati inus digantikan oleh Trenggono pada tahun 1524-1546,  pada masa sultan Demak ketiga inilah islam dikembangkan ke seluruh tanah jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Pada tahun 1527  pasukan gabungan Demak dan Cirebon menaklukkan Sunda Kelapa dibawah pimpinan Fadhilah Khan. Majapahit dan tuban jatuh ke bawah kekuasaan kerajaan Demak diperkirakan pada tahu 1527 itu juga.[40] Selanjutnya, pada tahun 1529, Demak berhasil menundukkan Madiun, Blora (1530), surabaya (1531), Pasuruan (1535), dan antara tahun 1541-1542 Lamongan, Blitar, Wirasaba, dan Kediri (1544). Palembang dan Banjarmasin mengakui kekuasaan Demak. Sementara daerah jawa tengah bagian Selatan sekitar Gunung Merapi, pengging, dan pajang berhasil dikuasai berkat pemuka Islam, Syaikh Siti Jenar dan Sunan Tembayat.[41] pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke Blambangan, sutan Trenggono terbunuh, ia digantikan adiknya, prawoto. Masa pemerintahannya tidak berlangsung lama karena, terjadi pemberontakan diskitar adipati-adipati kerajaan Demak. Sunan prawoto sendiri dibunuh oleh Aria penangsang dari jipang pada tahun 1549.


D.      PERKEMBANGAN DUNIA INTELEKTUAL
Islam di Jawa pada masa pertumbuhannya diwarnai oleh kebudayaan Jawa yang sebelumnya terdapat ajaran Hindu-Budaha yang bercampur denga unsur-unsur asli, sehingga mempermudah islamisasi di Jawa, terutama walisanga karena atas jasa mereka demak menjadi kerajaan pertama di Jawa. Raja Majapahit terakhir, Kertawijaya berpendapat bahwa maksud agama islam dan budha itu sama, hanya berbedacara beribadahnya, setelah mendengar penjelasan sunan Ampel dan sunan Giri, oleh karena itu, Ia tidak melarang  rakyatnya memeluk agama Islam, asal dilakukan dengan kesadaran dan keyakinan, tanpa paksaan.
Raden Fatah sebelum menjadi raja Demak, telah mempelajari Islam di pesantren Ampel lalu mendirikan pesantren di Glagah Arum bagian selatan daerah Jepara pada tahun 1475 M, yang kemudian dikenal dengan sebutan Bintara, pusat kerajaan Islam di Demak.
Para Wali telah memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Ada beberapa diantara mereka bahkan memiliki pengaruh dan nama besar  yang menggema ke luar Nusantara. Mereka telah berjuang dengan keras dan sungguh-sungguhuntuk menarik minat masyarakat non-muslim untuk memeluk Islam. Dengan bijaksna dan penuh hikmah, mereka berusaha memperkenalakan nilai-nilai Islam kepada masyarakat untuk memelik Islam. Dengan berbagai cara dan media, mereka menanamkan islam di hati masyarakat.
Para wali berkelana dari dusun ke dusun, memberikan ajaran moral keagamaan yangsecara tidak langsung membantu pemeliharaan keamanan. Kartena itu, mereka selalu di hormati dan dibantu oleh raja. Mereka dibantu pula oleh murid-muridnya yang setia yang tinggal di padepokan-padepokan, tempat menimba pelajaran-pelajaran keagamaan. Tugasya sebagai dai, mereka harus siap enghadapi ancaman-ancaman yang mengancam jiwa dan raga. Oleh karena itu, mereka juga diajari ketangkasan untuk mempertahankan diri dengan olah kanuragan. Dengan kemampuan itu, mereka disegan oleh para penyamun, perampok, dan serta penjahat-penjahat lainnya yang mengganggu keamanan kerajaan. Kepercayaan masyarakat pu pada agama Islam semakin meningkat dan rakyat pun banyak memeluk agama Islam.
Ketika pemeluk Islam mulai banyak, maka proses pendidikan dan pengajran Islam tidak hanya dilaksanakan melalui kontak formal, melainkan juga secara teratur dilaksanakan di tempat-tempat yang secara khusus mewadahi kegiatan-kegiatan pendidikan yang muncul pada periode ini, ada dua macam, yaitu pendidikan langgar dan pendidikan pesantren.

1.      Sistem Pendidikan Langgar
Langgar merupakan sebuah bangunan kecil dan sederhana yang ada di perkampungan Muslim sebagai tempat ibadah dan kegiatan-kegiatan lain,misalnya pengajaran agama. Tempat tersebut di kelola oleh  yang disebut amil,modin,kaum,lebai (di Sumatra). Di samping berfungsi sebagai pembaca do’a pada saat ada upacara,petugas juga berfungsi sebagai guru agama.
Pengajaran agama yang dilaksanakan di langgar merupakan pengajaran permulaan dan bersifat elementer. Materi yang di ajarkan biasanya berupa pengenalan abjad dalam huruf Arab,atau membaca ayat-ayat Al Qur’an yang dilakukan dengan cara mengikuti dan menirukan bacaan guru. Tujuan yang ingin dicapai adalah dapat membaca Al Qur’an sampai tamat.
2.      Sistem Pendidikan Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang banyak tumbuh di daeran pedesaan di Pulau Jawa sebagai kelanjutan pengajaran di langgar. Murid-murid yang belajar dipesantren diasramakan dalam suatu komplek yang disebut pondok,sehingga lembaga ini dikenal pula dengan sebutan “pondok pesantren”.

KESIMPULAN
            Perlu kita ketahui bahwasaannya para saudagar Arab, masuk ke wilaya Nusantara ini adalah sama. Ada yang melalui jalan laut dari Aden menulusuri pantai India Barat dan Selatan, atau jalan darat dari Khurasan kemudian melalui hutan menyebrangi laut Cina Selatan masuk ke wilayah Nusantara melalui pesisir pantai timur semenanjung tanah melayu. Oleh sebab itu, dapatlah kita berpendapat bahwa dakwah islamiyah datang ke wilayah Nusantara melalui lautan India dan juga laut Cina Selatan secara langung dari negri Arab dan oleh orang-orang Arab maupun Persia. Proses kedatangan Islam dan penyebarannya di Kepulaun Indonesia adalah dengan cara dapat dilihat melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia. ada tiga tahap proses islamisasi di Nusantara:
  • v  Pertama, fase kehadiran para pedagang muslim.
  • v  Kedua, fase terbentuknya kerajaan Islam.
  • v  Ketiga, fase pelembagaan Islam.
Sistem pendidikan  ada  dua macam yaitu: 1. Pendidikan Langgar, dan 2. Pendidikan Pesantren

DAFTAR PUSTAKA

Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Yusuf, Mundzirin. 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka



[1]Mundzirin Yusuf, dkk., Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), cetakan ke-1, hlm. 33. menurut M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), hlm. 3.
[2]op.cit., hlm. 34. menurut Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 20-21.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[5]Ibid., hlm. 35.
[6]Ibid., hlm. 35. menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 75.
[7]op.cit., hlm. 36. menurut G.W.J. Drewes, “Pemahaman Baru tentang Kedatangan Islam di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, dan Yasmin Hussain, Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 12-13.
[8]Ibid., hlm. 14-15, Azra, Islam Nusantara, hlm. 25.
[9]Ibid.
[10]Ibid., Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan kekuasaan, (Bandung: Rosda, 2000), hlm. 32.
[11]Ibid., Azra, Islam Nusantara, hlm. 25.
[12]Ibid., hlm 37., menurut G.E Marrison, “The Coming of Islam to the east Indies”, JMBRAS, 24, I (1951), hlm.31-37.
[13]Ibid., menurut T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, (London: Constable, 1913), hlm. 364-365.
[14]Ibid., hlm. 38.
[15]Ibid., menurut Asyumardi Azra, Islam Nusantara, hlm.28.
[16]Ibid.
[17]Ibid., hlm. 39., menurut Hamka, “Mazhab Syafi’I di Indonesia”, Gema Islam, VII, I, Mei 1962, hlm. 16
[18]Ibid., menurut Hamka, “Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Pesisir Sumatra utara”, Gema Islam, XXXI, 1 Mei 1963, hlm.17.
[19]Ibid., hlm. 40., Hamka, Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Peseisir Sumatra Utara, hlm. 31.
[20]Ibid., menurut  P.A. Hosein Djajadiningrat, Islam di Indonesia, dalam Kenneth Morgan, ed., Islam Djalan Mutlak, terj. Abu Salamah, dkk. (Djakarta: PT Pembangunan, 1963), hlm. 99-140.
[21]Ibid., hlm. 41. menurut  Sidi Ibrahim Boekhari, Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia, (Djakarta: Pablicita, 1971), hlm. 21-22.
[22]Ibid., Drewes, Pemahaman Baru, hlm. 9.
[23]Ibid., menurut Sumanto Alqurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jakarta, 2003), hlm. 215
[24]Ibid., hlm. 178-180.
[25]Ibid., menurut Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825, (Jakarta: Pustaka Azet, 1985), hlm. 15.
[26]Ibid., menurut Mohamad Habib Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 130. Meskipun ada yang menyangsikan, apakah benar nisan yang ada di makam itu ada di Jawa atau didatangkan setelah wanita itu meninggal dan tampaknya wanita itu bukan orang Indonesia. Lihat Ricklefs, Sejarah, hlm. 3-4; Ahmad Ibrahim, Islam, hlm. 28-29.
[27]Op.Cit., hlm. 43. menurut H.J. de Graaf, dkk., Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historitas dan Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), hlm. vii.
[28]Ibid., hlm. 44. Alqurtuby, Arus Cina, hlm. 19.
[29]Ibid., Alqurtuby, Arus Cina, hlm. 38.
[30]Ibid., hlm. 46. menurut Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 56.
[31]Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, (Jakarta: P. T. Raja Grafindo, 1993), hlm 200.
[32]Ibid,.
[33]Ibid., Badri Yatim, hlm. 205. menurut Uka  Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 3.
[34]Ibid., Badri Yatim, hlm. 206. menurut Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”, dalam A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (PT Almaarif, 1989), hlm. 420.
[35]Ibid., Uka Tjandrasasmita, “Proses kedatanga Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”. dalam A. Hasymy, Ibid., hlm. 362.
[36]Ibid., hlm. 207. menurut H. j. de Graaf, “Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18” dalam Azyumardi Azra (Ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 3.
[37]Ibid.,
[38]Ibid., Badri Yatim. hlm. 211. Menurut Taufik Abdullah, hlm. 69.
[39]Ibid., menurut H. J. Graaf dan Th. Pigued, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta; Grafiti pers, 1985), hlm. 49.
[40]Ibid.,
[41]Ibid., Badri Yatim. hlm. 212. Menurut Taufik Abdullah, hlm. 70.