MAKALAH
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Disusun Sebagai
Tugas Mata Kuliah
SEJARAH PERADABAN ISLAM
Dosen Pengampu :
NUR MUKHLIS ZAKARIA, M.Ag
Disusun
Oleh :
1.
HUDA YUSUF
2.
SYAFAAT
3.
MIFTAHUR R
4.
SRI UTAMI
SEKOLAH TINGGI ILMU
TARBIYAH
AL - MUSLIHUUN
TLOGO -
KANIGORO - BLITAR
TAHUN AKADEMIK 2012-2013
PENDAHULUAN
Penyebaran agama Islam
di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk
pribumi berhubungan dengan agama Islam kemudian mengantunya. Kedua, orang-orang
Asing Asia, seperti Arab, India, dan Cina yang telah beragama Islam bertempat
tinggal secara permanen di satu wilayah Indonesia, melakukan perkawinan
campuran dan mengikuti gaya hidup lokal. Kedua proses ini mungkin sering
terjadi secara bersamaan.[1]
Mengenai proses masuk
dan berkembangnya agama Islam ke indonesia, para sarjana dan peneliti sepakat
bahwa islamisasi itu berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan
oleh penguasa muslim Indonesia untuk mengislamkan rakyat atau masyarakatnya.
Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktek
keagamaan yang lama. Hal ini yang sering dilakukan oleh juru dakwah di Jawa
yang terkenal adalah Walisanga. Mereka mengajarkan Islam dalam bentuk kompromi
dengan kepercayaan-kepercayaan setempat. Di samping itu, mereka juga
menggunakan jimat, pesona ilmu kesaktian, dan keahlian supernatural lainnya
untuk mengajak mereka memeluk agama
Islam.[2]
A.
TEORI
MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Mengenai asal, tokoh
pembawa, waktu dan tempat islamisasi pertama kali di Indonesia masih merupakan
masalah yang kontroversia. Hal ini disebabkan kurangnya data yang dapat
digunakan untuk merekontruksi sejarah yang valid, juga adanya
perbedaan-perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan Islam. Sebagian sarjana
dan peneliti memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat
sederhana seperti pengucapan kalimat syahadat atau pemakaian nama Islam.
Sebagian yang lain mendefinisikan Islam secara sosiologis, yakni masyarakat itu
di katakan telah Islam, jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara
aktual dalam lembaga sosial, budaya, dan politik. Jadi mereka menganggap bacaan
kalimat syahadat tidak dapat dijadikan bukti adanya penetrasi Islam dalam suatu
masyarakat.[3] Setidak-tidaknya
ada empat teori tentang islamisasi awal di indonesia.
1.
Teori
India
Teori
ini antara lain dikemukakan oleh Pijnappel, Snouck Hurgronje, Moquette, dan
Fatimi. Dalam teori ini dijelaskan bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia
berasal dari Anak Benua India sekitar abad ke-13.
Pijnappel
mengajukan bukti adanya persamaan mazhab syafi'i antara di Anak Benua India
dengan di Indonesia. Orang-orang Arab yang bermazhab syafi'i bermigrasi dan
menetap di Gujarat dan Malabar kemudian membawa Islam ke Nusantara.[4]
Jadi ia berpendapat bahwa islamisasi di Nusantara dilakukan oleh orang Arab,
tetapi bukan datang langsung dari Arab, melainkan dari India, terutama dari
Gujarat dan Malabar.
Snouck
Hurgronje berpendapat bahwa saat Islam mempunyai pengaruh yang kuat di
kota-kota India selatan, banyak muslim Dhaka yang di sana. Mereka inilah yang
pertama menyebarkan agama Islam ke pulau Melayu, kemudian diikuti oleh
orang-orang Arab.[5]
Snouck Hurgronje menyatakan bahwa Islam Nusantara bukan berasal dari Arab,
karena sedikitnya fakta yang menyebutkan peranan bangsa Arab dalam penyebaran
agama Islam ke Nusantara. Ia berpendapat bahwa Islam Nusantara berasal dari
India, karena sudah lama terjalin hubungan perdagangan antara Indonesia dengan
India dan adanya inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra
mengindikasikan adanya hubungan antara Samudra dengan Gujarat.[6]
Snouck
Hurgronje menyebutkan bahwa Sumatra Utara, yaitu mengenai Pasai dijumpai dalam
kisah perjalanan Ibn Battuta, musafir Maroko yang singgah di daerah itu pada
tahun 1345 M dalam perjalanannya dari Benggala ke Tiongkok, merupakan tempat
yang penting bagi rekontruksi perkembangan Islam di kepulauan itu. Sebagaimana
dalam catatan Ibn Battuta, Snouck Hurgronje menyebutkan adanya tiga batu nisan
muslim dari paruh pertama abad ke-15 M yang ditemukan di distrik Pasai. Di
antara batu nisan-batu nisan itu ada tulisan tentang kematian seseorang
pangeran Abbasiyah. Pangeran itu mendapatkan tempat yang mulia yang terakhir di
Sumatra Utara pada tahun 14 07 M. Ia terdampar di Delhi dan atas tanggungan
maharaja Hindustan ayahnya telah menetap di sana dalam waktu yang lama. Snouck
Hurgronje juga menyebutkan bahwa ketiga batu nisan itu mempunyai persamaan
dengan batu nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang meninggal pada tahun
1419 M.[7]
Moquette
berpendapat ada persamaan antara gaya batu nisan yang ada di Pasai, Sumatra
Utara, khususnya yang bertanggal 17 Dzulhijjah 83.1 H/27 September 1428 M dan
di Gresik, yakni makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419) dengan batu nisan
yang di Cambay, Gujarat. Batu nisan-batu nisan itu semuanya berasal dari abad
ke-15 dan sesudahnya. Jadi ada hubungan antara Indonesia dengan Gujarat pada
periode tertentu. Mengenai batu nisan-batu nisan yang ditemukan di distrik
Pasai sebelum abad ke-15 M, seperti batu nisan Malik al-Shalih (1297 M)
dipandang oleh Moquette bentuknya berbeda dengan yang berasal dari Cambay,
meskipun batu nisan itu dari India dan diletakkan di makam itu beberapa waktu
setelah meninggalnya raja itu.[8]
Pendapat
Moquette dibantah oleh Fatimi dengan mengajukan argumentasi bahwa batu nisan
yang ada di makam Malik al-Shalih di Samudra Pasai ada persamaannya dengan yang
ada di Bangladesh, sedangkan batu nisan Malik al-Shalih coraknya sangat berbeda
dengan batu nisan yang ada di Gujarat dan prototipe Indonesianya.[9]
Fatimi mengatakan bahwa sebagian besar orang terkemuka di Pasai adalah orang
Benggali atau keturunannya. Islam pertama kali muncul di Semenanjung Malaya
dari arah pantai timur, bukan dari arah barat (Malaka), pada abad ke-11,
melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Ia berpendapat bahwa
Islam yang ada di Semenanjung lebih mirip dengan Islam di Phanrang dan
elemen-elemen prasasti Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang
ditemukan di Leran.[10]
Meskipun demikian pendapat Moquette banyak didukung oleh peneliti-peneliti
lain, seperti: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall.[11]
Menanggapi
tentang asal-usul Islam dari Gujarat, Marrison berpendapat meskipun beberapa
batu nisan di bagian tertentu Nusantara mungkin berasal dari Gujarat, bukan
berarti Islam berasal dari sana. Marrison menyatakan bahwa selama masa
islamisasi Samudra Pasai, Malik al-Shalih yang merupakan penguasa Muslim pertama
meninggal tahun 698 H/1297 M, saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu
dan wilayah Cambay dikuasai muslim pada tahun 699 H/1298 M. Dengan demikian
kalau Gujarat merupakan tempat asal islamisasi Nusantara, maka seharusnya Islam
di Gujarat telah mapan jauh menambahkan bahwa meskipun orang-orang muslim telah
berkali-kali berusaha untuk menaklukkan Gujarat, yakni tahun 415 H/1204 M, 574
H/1178 M, dan 694 H/1197 M, mereka tidak berhasil. Baru pada tahun 698 H/1297 M
Gujarat dapat ditaklukannya. Marrison sendiri berpendapat bahwa para juru
dakwah dari Coromandellah yang membawa Islam ke Nusantara pada akhir abad ke-13
M.[12]
2.
Teori
Arab
Teori ini antara lain
dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold, Crawfurd, Niemann, dan de Hollander. Arnold
berpendapat bahwa selain dari Coromandel dan Malabar Islam Nusantara juga
berasal dari Arab. Bukti yang ia ajukan ialah adanya kesamaan mazhab antara di
Coromandel dan Malabar dengan mazhab mayoritas umat Islam di Nusantara, yaitu
mazhab Syafi'i. Mazhab ini dibawa oleh para pedagang Coromandel dan Malabar ke
Nusantara. Mereka mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan
Nusantara. Di samping melakukan kegiatan perdagangan, mereka juga menyebarkan
agama Islam.[13]
Mengenai pendapatnya
tentang asal Islam Nusantara dari Arab, Arnold berpendapat bahwa para pedagang
Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan Barat-Timur sejak awal
abad ke-7 M dan ke-8 M. Dapat diduga bahwa mereka juga menyebarkan agama Islam
ke Nusantara. Arnold juga mengatakan bahwa sebuah sumber Cina menyebutkan bahwa
menjelan perempat ketiga abad ke-7 M ada seorang Arab yang menjadi pemimpin
pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatra. Mereka ini juga melakukan kawin
campur dengan penduduk setempat, sehingga muncullah komunitas muslim.[14]
Crawfurd mengatakan
bahwa Islam dikenalkan langsung dari Arab, meskipun demikian dia juga
menegaskan bahwa hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan kaum muslimin dari
pesisir Timur India juga merupakan faktor penting. Niemann tidak menyebut
tentang waktu masuknya Islam ke Nusantara, sedangkan de Hollander mengatakan
kemungkinan pada abad ke-13 M sudah ada orang-orang Arab di Jawa. Niemann dan
de Hollander mengatakan bahwa Islam datang dari Hadramaut, karena adanya
persamaan antara mazhab yang dianut oleh muslim Hadramaut dengan muslim
Nusantara, yaitu mazhab Syafi'i. [15]
Sejumlah ahli Indonesia
sepakat dengan teori ini. Mereka memberi alasan bahwa mazhab Syafi'i di mekah
mendapat pengaruh yang luas di Indonesia. Mereka juga berpendapat bahwa pada
tahun 674 M telah terdapat perkampungan Arab Islam di pantai barat Sumatra dan
telah terjadi hubungan Indonesia-Arab jauh sebelum abad ke-13 M. Pembawa agama
Islam itu adalah para saudagar Arab. Mereka mengatakan bahwa Islam datang ke
Indonesia pada abad ke-17 M langsung dari Arab.[16]
Hamka yang setuju
dengan teori ini memberikan beberapa alasan, di samping alasan di atas, yaitu
gelap raja-raja Pasai adalah Malik, bukan Shah atau Khan seperti yang terjadi
di Persia dan India. Gelar al-Malik kemungkinan besar mendapat pengaruh dari
Mesir. Karena raja-raja Mamluk setelah keturunan Salahudin semuanya menggunakan
gelar al-Malik.[17]
Hamka juga mengatakan bahwa pada abad ke-13 M sezaman dengan Ibn Battuta ada
ulama-ulama Djawi yang mengajarkan tasawuf di Mekah. Dalam buku Djami' Kiramat
al-Aulia karya Syaikh Yusuf bin Ismail en Nabhani dijelaskan bahwa guru tasawuf
Syaikh Abdullah al-Jafi'i adalah murid Syaikh Abdullah Mas'ud bin Abdullah
al-Djawi.[18]
Mengenai teori Arab ini sejalan dengan apa yang
tercantum dalam historigrafi tradisional. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai
disebutkan bahwa Syaikh Ismail datang dari makah melalui Malabar menuju Pasai.
Dia mengislamkan Raja Pasai, Merah Silu, yang kemudian bergelar Malik al-Shalih
(meninggal 698 H/1297 M). kemudian menurut sejarah melayu kira-kira tahun 817
H/1414 M, Parameswara, penguasa Malaka, diislamkan oleh Sayyid Abd al-Aziz,
seorang Arab yang berasal dari Jeddah. Setelah menganut Islam, Parameswara
bergelar Sultan Muhammad Syah.
Menurut Azyumardi Azra
ada empat hal yang disampaikan oleh historigrafi tradisional berkaitan dengan
islamisasi Nusantara. Pertama, Islam Nusantara berasal dari Arab. Kedua, Islam
dibawa oleh juru dakwah yang professional. Ketiga, yang pertama kali masuk
Islam adalah berasal dari kalangan penguasa. Keempat, sebagian besar juru
dakwah itu datang ke Nusantara pada abad ke-12 M dank ke-13 M. memang sejak
abad pertama Hijriah sudah ada orang Islam di Nusantara, tetapi baru abad ke-12
M sampai abad ke-16 M pengaruh Islam di Nusantara tampak lebih jelas dan kuat.[19]
3.
Teori
Persia
Teori ini dikemukakan
oleh P.A. Husain. Djajadiningrat dalam teori ini dinyatakan bahwa Islam masuk
ke Nusantara pada abad ke-13 M di Sumatra, yang berpusat di Samudra Pasai. Dia
mendasarkan argumennya pasa persamaan budaya yang berkembang di kalangan masyarakai
Islam Indonesia dengan budaya yang ada di persia.[20]
Bukti-bukti adanya
persamaan budaya itu antara lain:
- Adanya
peringatan 10 Muharram atau Asyura yang merupakan tradisi yang berkembang
dalam masyarakat Syiah untuk memperingati hari kematian Husain di karbala.
Tradisi ini diperingati dengan membuat bubur Asyura. Bulan Muharram di
Minangkabau disebut dengan bukan Hasan-Husain, di Sumatra Tengah bagian Barat
disebut dengan bulan Tabut.
- Adanya
persamaan antara ajaran al-Hallaj dengan ajaran Syaikh Siti Jenar.
- Persamaan
dalam sistem mengeja huruf Arab bagi pengajian al-Quran tingkat awal.
- Adanya
persamaan batu nisan yang ada di makam
Malik al-Shalih di Pasai dengan makam Malik Ibrahim di Gresik yang
di pesan dari Gujarat. Dalam hal ini Hoesein Djajadiningrat berpendapat
bahwa Gujarat merupakan daerah yang mendapat pengaruh dari Persia yang
menganut faham Syiah dan dari sinilah Syiah dibawa ke Indonesia.
Meskipun demikian teori
Persia ini juga memandang adanya pengaruh mazhab Syafi'i di Indonesia berasal
dari Malabar, yang merupakan Mazhab paling utama di daerah itu. Teori ini juga
sesuai dengan pendapat Mueas. Dia berpendapat bahwa Gujarat pada abad ke-15 M,
pada masa Raja-raja Sasanid, banyak orang-orang Persia yang berada di Aceh. Dia juga mengatkan bahwa
sebenarnya kata “Pasai” itu berasal dari kata “Persia”. Muens juga mengemukakan
alasannya bahwa ketika Ibn Batutah dating ke aceh, terdapat dua ulamayang
berasal dari Persia, yaitu Tajduddin al-Syirazi dan Sayyid al- Ashbahani.[21]
Pijnapel juga berpendapat
bahwa Islam di Nusantara juga mendapat pengaruh dari Persia di samping dari
Arab. Dia menunjukkan bukti adanya jujur perdagangan dari teluk Persia ke
pantai barat India, Broach, Surat, dan Quilon (Kulam) merupakan pusat-pusat
perdagangan yang penting. Adanya pengaruh dari Persia disebabkan karena kontak
dengan pantai barat India.[22]
4.
Teori
Cina
Teori ini menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara
bukan dari Timur Tengah/Arab maupun Gujarat/India, tetapi dari Cina. Pada abad
ke-9 M banyak orang muslim Cina di kanton dan wilayah Cina selatan lain yang
mengungsi ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatra. Hal ini terjadi karena pada
masa Huan Chou terjadi penumpasan terhadap penduduk Kanton dan wilayah Cina
selatan lainnya yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka berusaha
mengadakan revolusi politik terhadap keraton Cina pada abad ke-9 M.[23] Pada
abad-abad berikutnya peranan orang Cina semakin tampak dengan adanya
bukti-bukti artefak, yakni adanya unsure-unsur Cina dalam arsitektur
masjid-masjid Jawa Kuno, seperti tampak pada atap masjid banten, mustaka, dan
lain-lain.[24]
Disamping adanya pengungsi Cina ke Jawa pada abad
ke-9 M, pada abad ke-8-11 M sudah ada pemukiman Arab muslim di Cina dan di
Campa. Memang sudah terjadi hubungan perdagangan yang cukup lama antara
orang-orang Cina dengan orang-orang Jawa.[25] Suatu
hal yang wajar jika pada abad ke-11 M telah terdapat komunitas muslim di Jawa,
seperti adanya makam Islam dan keramik Cina di situs Leran. Temuan tersebut
dapat dijadikan bukti bahwa sejak abad ke-11 M daerah Leran dan sekitarnya
merupakan pusat perdagangan penting di Jawa Timur.[26]
Cina mempunyai peranan yang besar dalam perkembangan
Islam di Indonesia. Di samping bukti-bukti di atas, arsitektur masjid Demak dan
juga berdasarkan beberapa catatan sejarah beberapa sultan dan sunan yang
berperan dalam penyiaran agama Islam di Indonesia adalah keturunan Cina,
misalnya Raden Patah yang mempunyai nama
Cina Jin Bun, Sunan Ampel dan lain-lain.[27]
Meskipun demikian, ada masalah dalam teori ini
berkaitan dengan mazhab yang dianut oleh kaum muslim Nusantara. Secara
mayoritas mereka menganut mazhab Sunni Syafi’I, sedangkan muslim Anak Benua
bermazhab Sunni Hanafi. Dalam hal ini memungkinkan munculnya pendapat bahwa
Islam datang ke Nusantara langsung dari Arabia selatan, khususnya Yaman dan
Hadramaut, karena di kawasan itu kaum muslim menganut faham Sunni Syafi’i.
dengan memahami kenyataan di atas teori Cina tampaknya ada kecocokan berkaitan
dengan masalah mazhab dan bahasa. Muslim Cina bermazhab Sunni Syafi’I, yakni
mazhab yang dianut oleh bangsa-bangsa muslim sepanjang jalur sutra dan dari
segi kabahasaan, bangsa-bangsa muslim di Asia Tengah dan Cina berada dalam
kawasan pengruh budaya muslim Persi.[28]
Setidak-tidaknya teori islamisasi di Nusantara
berasal dari Cina pada masa-masa
tertentu patut diperhatikan, karena sekitar abad ke-15 M dan abad ke-16 M telah
terjadi hubungan yang sangat baik antara Cina dan Jawa.[29]
B.
PROSES
ISLAMISASI DI NUSANTARA
Menurut Hasan Muarif Ambary ada tiga tahap proses
islamisasi di Nusantara. Pertama, fase kehadiran para pedagang muslim (abad ke-1
sampai ke-4 H) sejak permulaan abad Masehi kapal-kapal dagang Arab sudah mjulai
berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Pada abad ke-1-4 H/7-10 M jawa tidak
disebut-sebut sebagai tempat persinggahan pedagang. Mengenai adanya makam
Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dengan angka 475 H/1082 M bentuk maesan
dan jiratnya menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M. Fatimi
berpendapat bahwa nisan itu ditulis oleh orang syiah dan ia bukan seorang muslim
Jawa, tetapi seorang pendatang yang sebelumnya bermukim di timur jauh.
Kedua, fase terbentuknya kerajaan Islam (13-16 M). pada
fase ini ditandai dengan munculnya pusat-pusat kerajaan Islam. Ditemukan makam
Malik al-Shalih yang terletak di kecamatan Samudra di Aceh utara dengan angka
tahun 696 H/1297 M merupakan bukti yang jelas adanya kerajaan Islam di Pasai.
Di Jawa sudah ada bukti yang kuat tentang keberadaan masyarakat muslim,
terutama di pesisir pantai utara. Adanya batu nisan-batu nisan bekas pemakaman
orang-orang Islam di Trowulan dan Troloyo, dekat Mojokerto, yang diduga sebagai
pusat pemerintahan kerajaan Majapahit memberikan suatu gambaran bahwa
makam-makam itu merupakan makam-makam orang muslim Jawa dan bukan kuburan orang
muslim Asing. Hal ini dapat diketahui dari angka tahun-angka tahun pada nisan
itu yang menggunakan angka tahun Saka dan Jawa Kuno, jarang menggunakan tahun
Hijriyah.
Ketiga, fase pelembagaan Islam. Agama Islam yang berpusat
di Pasai tersebar luas ke Aceh di pesisir Sumatra, Semenanjung Malaka, Demak,
Gresik, Banjarmasin dan Lombok. Bukti persebarannya ditemukan cukup banyak. Di
Semenanjung Melayu ditemukan
bentuk-bentuk nisan yang menyerupai bentuk-bentuk batu nian Aceh. Di Kuwin
Banjarmasin tepatnya di komplek pemakaman Sultan Suriansyah (Raden Samudra)
terdapat batu nisan yang mempunyai kesamaan batu nisan yang ada di Demak dan
Gresik. Di pemakaman Seloparang terdapat sebuah batu nisan yang memiliki gaya
Jawa Timur.[30]
Kedatangan islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat
umumnya, dilakukan secra damai. Apabila situasi politik suatu kerajaan kekacauan dan
kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana,
maka islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan
atau pihak-pihak yang dikehendaki kekuasantersebut. Apabila kerajaan islam
sudah berdiri,hal ini bukanlah karena persoalan agama tetapi karena dorongan
politisi untuk menguasai kerajaan-kerajaan di sekitarnya.[31]
Proses kedatangan Islam
dan penyebarannya di Kepuluan Indonesia adalah dengan cara damai melalui
beberapa cara. Menurut Uka Tjandrasasmita ada enam cara[32], yaitu :
1. Melalui
Jalur Perdagangan
Pada taraf permulaan,saluran Islamisasi adalah
perdagangan. Kesibukan lalu luntas perdagangan peda abad ke-7 hingga ke-16 M
membuat para pedagang muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil bagia dalam
perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara, dan timur benua Asia.
2. Melalui
Jalur Perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki setatus
social yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untk menjadi istri para
saudagar itu. Sebelum menikah mereka di Islamkan terlebih dahulu. Setelah merek
memiliki keturunan, lingkungan
mereka akan semakin luas. Akhirnya timbul kampong, daerah, dan
kerajaan-kerajaan muslim.
3. Melalui
Jalur Tasawuf
Para penyebar Islam
juga dikenal sebagai pengajar- pengajar
tasawuf. Mereka mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang
sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dengan tasawuf, bentuk Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai
persamaan dengan alam pikiran mereka yang
sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu
dapat dengan mudah dimengerti dan diterima.
4. Melalui
Jalur Pendidikan
Dalam Islamisasi di
Indonesia ini, juga dilakukan melalui jalur pendidikan seperti pesantren, surau, masjid, dan lain-lain yang dilakukan oleh guru
agama, kiyai dan ulama. Jalur pendidikan
digunakan oleh para wali khususnya di Jawa dengan membuka lembaga pendidikan
pesantren sebagai tempat kaderisasi mubaligh-mubaligh Islam di kemudian hari.
5. Melalui
Jalur Kesenian
Para penyebar Islam
juga menggunakan kesenian dalam rangka
penyebaran Islam,antara lain dengan wayang,,sastra,dan berbagai kesenian lain.
Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh penyebar agama Islam seperti walisongo
untuk menarik perhatian di kalangan merekasehingga dengan tanpa terasa mereka
elah tertarik kepada ajaran-ajaran Islam sekalipun pada awalnya mereka tertarik
dikarenakan media kesenian itu.
6. Melalui
Jalur Politik
Sebagaimana
diketahui, melalui jalur
politik para walisongo melakukan strategi dakwah mereka di kalangan para
pemesar kerajaan seperti Majapahit, Pajajaran, bahkan para walisongo juga mendirikan
kerajaan Cirebon dan kerajaan Banten. Kesemuanya dilakukan untuk melakukan
pendekatan dalam rangka penyebaran islam.
C.
PERTUMBUHAN
LEMBAGA SOSIAL DAN POLITIK
- Kerajaan
Samudra Pasai
Kerajaan islam pertama di indonesia adalah kerajaan samudra pasai yang
merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh.
Kemunculannya sebagai kerajaan islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan
abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang
pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7 M, ke-8 M dan seterusnya.[33] Bukti berdirinya kerajaan Samudra Pasai
pada abad ke-13 M itu didukung
oleh adanya nisan kubur yang berasal dari Samudra Pasai. Dari nisan itu,
dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal
pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297
M.
Malik Al-Saleh, raja pertama itu, merupakan pendiri kerajaan tersebut.
Hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya
para sarjana Belanda, sepserti snouck Hurgronye, J.P.Molquette, J.L.Moens,
J.Hushoff poll, G.P.Rouffaer, H.K.J.Cowan, dll.[34] Dari segi peta politik,
munculya kerajaan Samudra Pasai abad ke 13 M itu sejalan
denagan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya,
yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan sumatra
dan sekelilingnya.[35]
Pendapat bahwa
islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M,
didukung oleh berita Cina dan pendapat ibnu batutah,
seorang pengembara terkenal asal marokko, yang pada pertengahan abad ke-14 M (tahun 746 H/1345 M) mengunjungi Samudra Pasai dalam perjalanannya
dari delhi ke Cina. Ketika itu Samudra Pasai diperintah
oleh Sultan Malik Al Zahir, putra Sultan Malik Al Shalih, Menurut
sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282 M kerajaan kecil sa-mu-ta-la (Samudra) mengirim kepada
raja cina duta-duta yang disebut dengan nama-nama muslim yakni Husain dan
Sulaiman.[36] Ibnu
batutah menyatakan bahwa islam sudah hampir satu abad lamanya disiarkan di
sana. Berdasarkan beritanya pula, kerajaan samudra pasai ketika itu merupakan
pusat studi agama islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri
untuk berdiskusi brbagai permasalahan keagamaan dan keduniaan.
Dalam
kehidupan perekonomiannya,
kerajaan maritim ini,
tidak mempunyai basis agrasis. Basis perekomiannya adalah perdagangan dan
pelayaran. Samudra Pasai waktu itu ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonomi,
memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung
antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia,
India, Cina, dan Arab. Ia merupakan pusat perdagangan yang sangat penitng.
Adanya mata uang itu membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat ini meripakan
kerajaan yang makmur.
Puncak
kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1608-1637). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan
Barat Sumtra. Dari Aceh,
tanah Gayo dan minang kabau. Hanya orang kafir batak yang berusaha
menangkis kekuatan islam yang datang. Bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan
ke portugis. Akan tetapi sultan tidak
terlalu bergantung pada Turki Umani, selain jaraknya yang jauh. Untuk
mengalahkan portugis, sultan kemudian bekerja sama dengan musuh portugis, yaitu
Belanda dan Inggris. Tidak seperti iskandar Muda yang
memerintahkan dengan tangan besi, penggantinya, Iska ndar Tsani, bersikap lebih liberal,
lembut dan adil.
Pada masanya, Aceh terus berkembang dan juga pengetahuan
agama maju dengan pesat. Akan tetapi kematiannya diikuti masa-masa bencana. Tatkala
beberapa sultan perempuan menduduki singgasana beberapa wilayah taklukannya
lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Setelah itu, pemulihan kesultanan
tidak banyak bermanfaat, sehingga menjelang abad ke18 M kesultanan Aceh merupakan
bayangan belaka dari masa silam dirinya, tanap kepemimpinan dan kacau balau.[37]
2. Kerajaan Demak
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu,
perkembangan islam di jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi raja majapahit. Hal ini
memberi peluang kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Dibawah
kepemimpinan Sunan Ampel Denta, wali songo bersepakat mengangkat Raden Patah
menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan islam pertama dijawa, dengan
gelar Senopati Jimbun Ngbdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama[38].
Raden
Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam persoalan-persoalan
agama, dibantu oleh para ulama. Wali Songo. Sebelumnya, Demak yang masih bintaro merupakan daerah
asal majapahit yang diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini lambat laun
menjadi pussat perkembangan agama islam
yang diselenggarakan oleh para wali.
Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira diakhir
abad ke-15 hingga abad ke-16. Dikatakan, ia adalah seorang anak raja Majapahit dari seorang ibu
Muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya, Sabrang lor, dikenal juga
dengan nama pati unus. Menurut Tome Pires. Pati unus baru berumur 17
tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507.
Tidak lama setelah naik tahta, ia merencanakan suatu
serangan terhadap malaka. Semangat
perangnya semakin memuncak ketika Malaka
ditaklukkan Portugispada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar tahun 1512-1513 tentaranya mengalami kekelahan besar.[39]
Kemudian, pati inus digantikan oleh Trenggono
pada tahun 1524-1546, pada masa sultan Demak ketiga inilah islam
dikembangkan ke seluruh tanah jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Pada tahun 1527 pasukan
gabungan Demak dan Cirebon menaklukkan Sunda Kelapa dibawah pimpinan Fadhilah Khan. Majapahit dan tuban jatuh
ke bawah kekuasaan kerajaan Demak diperkirakan pada tahu 1527 itu juga.[40]
Selanjutnya, pada tahun 1529, Demak berhasil menundukkan Madiun,
Blora (1530), surabaya (1531), Pasuruan (1535), dan antara tahun 1541-1542 Lamongan,
Blitar, Wirasaba, dan Kediri (1544). Palembang dan Banjarmasin mengakui kekuasaan
Demak. Sementara daerah jawa tengah bagian Selatan sekitar Gunung Merapi,
pengging, dan pajang berhasil dikuasai berkat pemuka
Islam, Syaikh Siti Jenar dan Sunan Tembayat.[41] pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke Blambangan, sutan Trenggono terbunuh, ia digantikan adiknya,
prawoto. Masa pemerintahannya tidak berlangsung lama
karena, terjadi pemberontakan diskitar adipati-adipati kerajaan Demak. Sunan prawoto sendiri dibunuh
oleh Aria penangsang dari jipang pada tahun 1549.
D. PERKEMBANGAN DUNIA INTELEKTUAL
Islam
di Jawa pada masa pertumbuhannya diwarnai oleh kebudayaan Jawa yang sebelumnya
terdapat ajaran Hindu-Budaha yang bercampur denga unsur-unsur asli, sehingga
mempermudah islamisasi di Jawa, terutama walisanga karena atas jasa mereka demak
menjadi kerajaan pertama di Jawa. Raja Majapahit terakhir, Kertawijaya
berpendapat bahwa maksud agama islam dan budha itu sama, hanya berbedacara
beribadahnya, setelah mendengar penjelasan sunan Ampel dan sunan Giri, oleh
karena itu, Ia tidak melarang rakyatnya
memeluk agama Islam, asal dilakukan dengan kesadaran dan keyakinan, tanpa
paksaan.
Raden
Fatah sebelum menjadi raja Demak, telah mempelajari Islam di pesantren Ampel
lalu mendirikan pesantren di Glagah Arum bagian selatan daerah Jepara pada
tahun 1475 M, yang kemudian dikenal dengan sebutan Bintara, pusat kerajaan
Islam di Demak.
Para
Wali telah memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara,
khususnya di Jawa. Ada beberapa diantara mereka bahkan memiliki pengaruh dan
nama besar yang menggema ke luar
Nusantara. Mereka telah berjuang dengan keras dan sungguh-sungguhuntuk menarik
minat masyarakat non-muslim untuk memeluk Islam. Dengan bijaksna dan penuh
hikmah, mereka berusaha memperkenalakan nilai-nilai Islam kepada masyarakat
untuk memelik Islam. Dengan berbagai cara dan media, mereka menanamkan islam di
hati masyarakat.
Para
wali berkelana dari dusun ke dusun, memberikan ajaran moral keagamaan
yangsecara tidak langsung membantu pemeliharaan keamanan. Kartena itu, mereka
selalu di hormati dan dibantu oleh raja. Mereka dibantu pula oleh
murid-muridnya yang setia yang tinggal di padepokan-padepokan, tempat menimba
pelajaran-pelajaran keagamaan. Tugasya sebagai dai, mereka harus siap enghadapi
ancaman-ancaman yang mengancam jiwa dan raga. Oleh karena itu, mereka juga
diajari ketangkasan untuk mempertahankan diri dengan olah kanuragan. Dengan
kemampuan itu, mereka disegan oleh para penyamun, perampok, dan serta
penjahat-penjahat lainnya yang mengganggu keamanan kerajaan. Kepercayaan
masyarakat pu pada agama Islam semakin meningkat dan rakyat pun banyak memeluk
agama Islam.
Ketika pemeluk Islam mulai banyak, maka proses pendidikan
dan pengajran Islam tidak hanya dilaksanakan melalui kontak formal, melainkan
juga secara teratur dilaksanakan di tempat-tempat yang secara khusus mewadahi
kegiatan-kegiatan pendidikan yang muncul pada periode ini, ada dua macam, yaitu
pendidikan langgar dan pendidikan pesantren.
1.
Sistem Pendidikan Langgar
Langgar merupakan
sebuah bangunan kecil dan sederhana yang ada di perkampungan Muslim sebagai
tempat ibadah dan kegiatan-kegiatan lain,misalnya pengajaran agama. Tempat
tersebut di kelola oleh yang disebut
amil,modin,kaum,lebai (di Sumatra). Di samping berfungsi sebagai pembaca do’a
pada saat ada upacara,petugas juga berfungsi sebagai guru agama.
Pengajaran agama yang
dilaksanakan di langgar merupakan pengajaran permulaan dan bersifat elementer.
Materi yang di ajarkan biasanya berupa pengenalan abjad dalam huruf Arab,atau
membaca ayat-ayat Al Qur’an yang dilakukan dengan cara mengikuti dan menirukan
bacaan guru. Tujuan yang ingin dicapai adalah dapat membaca Al Qur’an sampai
tamat.
2.
Sistem Pendidikan Pesantren
Pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam yang banyak tumbuh di daeran pedesaan di Pulau Jawa
sebagai kelanjutan pengajaran di langgar. Murid-murid yang belajar dipesantren
diasramakan dalam suatu komplek yang disebut pondok,sehingga lembaga ini
dikenal pula dengan sebutan “pondok pesantren”.
KESIMPULAN
Perlu kita ketahui bahwasaannya
para saudagar Arab, masuk
ke wilaya Nusantara ini adalah sama. Ada yang melalui jalan laut dari Aden
menulusuri pantai India Barat dan Selatan, atau
jalan darat dari Khurasan kemudian melalui hutan menyebrangi laut Cina Selatan
masuk ke wilayah Nusantara melalui pesisir pantai timur semenanjung tanah
melayu. Oleh sebab itu, dapatlah
kita berpendapat bahwa dakwah islamiyah datang ke wilayah Nusantara melalui
lautan India dan juga laut Cina Selatan secara langung dari negri Arab dan oleh
orang-orang Arab maupun Persia. Proses kedatangan Islam dan penyebarannya di
Kepulaun
Indonesia adalah dengan cara dapat dilihat melalui jalur perdagangan, dakwah,
perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan,
yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di
Indonesia. ada tiga tahap proses
islamisasi di Nusantara:
- v Pertama, fase kehadiran para pedagang muslim.
- v Kedua, fase terbentuknya kerajaan Islam.
- v Ketiga, fase pelembagaan Islam.
Sistem pendidikan ada
dua macam yaitu: 1. Pendidikan Langgar, dan 2. Pendidikan Pesantren
DAFTAR PUSTAKA
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher
Yatim,
Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Yusuf, Mundzirin. 2006. Sejarah
Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
[1]Mundzirin Yusuf,
dkk., Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka, 2006),
cetakan ke-1, hlm. 33. menurut M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1991), hlm. 3.
[2]op.cit., hlm. 34. menurut
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung:
Mizan, 2002), hlm. 20-21.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[6]Ibid., hlm. 35. menurut
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 75.
[7]op.cit., hlm. 36. menurut
G.W.J. Drewes, “Pemahaman Baru tentang Kedatangan Islam di Indonesia”, dalam
Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, dan Yasmin Hussain, Islam di Asia Tenggara:
Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 12-13.
[10]Ibid., Azyumardi Azra, Renaisans
Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan kekuasaan, (Bandung: Rosda, 2000),
hlm. 32.
[12]Ibid., hlm 37., menurut
G.E Marrison, “The Coming of Islam to the east Indies”, JMBRAS, 24, I
(1951), hlm.31-37.
[13]Ibid., menurut T.W.
Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim
Faith, (London: Constable, 1913), hlm. 364-365.
[16]Ibid.
[17]Ibid., hlm. 39., menurut
Hamka, “Mazhab Syafi’I di Indonesia”, Gema Islam, VII, I, Mei 1962, hlm.
16
[18]Ibid., menurut Hamka,
“Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Pesisir Sumatra utara”, Gema Islam, XXXI,
1 Mei 1963, hlm.17.
[20]Ibid., menurut P.A. Hosein Djajadiningrat, Islam di
Indonesia, dalam Kenneth Morgan, ed., Islam Djalan Mutlak, terj. Abu
Salamah, dkk. (Djakarta: PT Pembangunan, 1963), hlm. 99-140.
[21]Ibid., hlm. 41.
menurut Sidi Ibrahim Boekhari, Sejarah
Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia, (Djakarta: Pablicita,
1971), hlm. 21-22.
[23]Ibid., menurut Sumanto
Alqurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press
dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jakarta, 2003), hlm. 215
[25]Ibid., menurut Peter
Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825, (Jakarta: Pustaka Azet,
1985), hlm. 15.
[26]Ibid., menurut Mohamad
Habib Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya
Masa Peralihan, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 130. Meskipun ada yang
menyangsikan, apakah benar nisan yang ada di makam itu ada di Jawa atau
didatangkan setelah wanita itu meninggal dan tampaknya wanita itu bukan orang
Indonesia. Lihat Ricklefs, Sejarah, hlm. 3-4; Ahmad Ibrahim, Islam, hlm.
28-29.
[27]Op.Cit., hlm. 43. menurut
H.J. de Graaf, dkk., Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historitas
dan Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), hlm. vii.
[30]Ibid., hlm. 46. menurut
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia, (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 56.
[31]Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, (Jakarta: P. T.
Raja Grafindo, 1993), hlm 200.
[32]Ibid,.
[33]Ibid., Badri Yatim, hlm. 205. menurut Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984),
hlm. 3.
[34]Ibid., Badri Yatim, hlm. 206. menurut Muhammad
Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan
Islam di Aceh”, dalam A. Hasymy, Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (PT Almaarif, 1989), hlm. 420.
[35]Ibid., Uka Tjandrasasmita, “Proses kedatanga
Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”. dalam A. Hasymy, Ibid., hlm. 362.
[36]Ibid., hlm. 207. menurut H. j. de Graaf, “Islam
di Asia Tenggara sampai Abad ke-18” dalam Azyumardi Azra (Ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 3.
[37]Ibid.,
[39]Ibid., menurut H. J. Graaf dan Th. Pigued, Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa, (Jakarta; Grafiti pers, 1985), hlm. 49.
[40]Ibid.,